Studi Lapangan Studi Agama Kontemporer di Wihara Candi Mendut
Informasi
studi lapangan SAK :
Tempat
: Wihara Candi Mendut Magelang
Waktu : Senin, 20 Mei 2013
Narasumber : Bante Cuti Damo
Awalnya sebelum mengikuti acara yang
diselenggarakan oleh Ibu Evi ini sepertinya cukup sulit bagi penulis untuk
dapat memahami agama Budha dengan lebih baik. Agama Budha saat ini memang
menjadi agama yang cukup mempunyai banyak penganut baik didunia maupun di
Indonesia, para penganutnya berpendapat jika agama ini dapat memberikan
ketenangan batin yang sukar didapatkan tanpa belajar dengan sang Biksu melalui
ritus-ritus seperti semedi dsb. Namun apakah hanya hal tersebut yang menjadi
daya tarik ataupun pesona dari agama yang disampaikan oleh Budha Sidarta
Gautama ini. Awalnya memang penulis hanya mengetahui hal-hal itu saja, tapi
setelah mengikuti dialog interaktif bersama di Wihara Candi Mendut membuat
sedikit membuka wawasan penulis tentang agama Budha ini.
Kemudian dari hasil dialog itu
banyak hal dapat diketahui dari sebelumnya belum diketahui. Diawali dari
patung-patung yang ada disekitaran area Wihara, mungkin banyak yang berpendapat
jika hal tersebut adalah suatu benda suci yang sangat disakralkan. Namun,
ternyata semua itu tak sepenuhnya benar, melainkan sebenarnya semua itu tidak
lebih dari sekedar hiasan atau pernak-pernik dan karya seni untuk lebih
mempercantik tampilan Wihara tersebut. Biasanya patung hiasan ini berada diluar
gedung wihara dan bentuk serta ukurannya pun sangat beragam, mulai dari patung
hewan, budha, dewi dll. Memang tidak semua patung yang ada hanya sebagai
hiasan, tapi tetap ada yang disakralkan untuk peribadatan yaitu patung yang
berada dalam wihara guna untuk ritual sembahyang para umat Budha. Dan yang
cukup menarik disini adalah jika ternyata patung dalam agama Budha yang ada
pada awalnya merupakan pengaruh dari kebudayaan agama Hindu dan kemudian
diterapkan dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Budha hingga sekarang.
Untuk ketepatan wajah Budha dalam patung-patung tersebut tidak dapat dipastikan
kebenarannya karena patung itu diciptakan ratusan tahun jauh setelah Budha
Sidarta Gautama meninggal dunia.
Lanjut Menurut sang Biksu mengatakan
jika yang beribadat dengan menggunakan patung itu adalah kebanyakan para umat
budhist yang masih dalam kategori dasar, sedangkan yang sudah mencapai tingkat
tinggi tidak memerlukan lagi patung untuk beribadat. Karena mereka sudah dapat
mencapai ketenangan dalam beribadat dimanapun dan kapanpun tanpa harus
menggunakan objek patung. Inilah yang membedakan tingkat ketinggian keilmuan
seorang budist.
Waktu kunjungan kemarin bertepatan
dengan hari-hari menjelang hari besar Waisak, dan sang Bhiksu pun tak lupa
menerangkan tentang perihal hari suci umat budhist tersebut. Waisak merupakan
hari peringatan Trisuci yakni peristiwa kelahiran, pencerahan dan kematian dari
sang Budha Gautama yang terjadi pada masa lalu. Untuk detailnya :
Dirayakan dalam bulan Mei pada waktu terang bulan
(purnama sidhi) untuk memperingati 3 (tiga) peristiwa penting, yaitu :
2. Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan
menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhgaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588 S.M.
Yang
paling menarik dari kunjungan tersebut adalah penuturan dari sang bhiksu
mengenai bagaimana toleransi antar umat Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia terhadap umat Budhist. Sang Bhiksu mengatakan jika toleransi yang
terjalin hingga sekarang sudah cukup baik, ini terbukti dari beberapa daerah
yang ada di jawa tengah dan sangat terlihat kerukunan yang nyata yang ada dalam
kehidupan keseharian antar umat disana. Misalnya saja ketika umat muslim
mempunyai acara ataupun hajatan maka tak sungkan untuk para umat Budhist untuk
membantu dan jika hal tersebut berhubungan dengan keagamaan maka umat Budhist
akan menghormatinya. Begitupun sebaliknya.
Yang
perlu digaris bawahi menurut Bhiksu adalah jika toleransi dua agama ini hingga
sekarang terjalin dengan baik, tanpa ada sesuatu yang tidak baik. Maka dari itu
marilah kita berupaya untuk menjaga hal tersebut hingga akhir nanti, agar kita
dapat hidup berdampingan damai tanpa ada diskriminasi dan ada yang merasa
terkucilkan. Amien.
0 komentar: