MATERI KULIAH METODOLOGI TAFSIR
METODOLOGI TAFSIR
Sebagai sebuah metode, qaidah-qaidah
penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, namun menjadi sebuah disiplin ilmu
yang berada di dalam ilmu tafsir, penentuan tahunnya agak sulit dilacak. Yang
jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah-wilayah ajam (non Arab)
dan ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul
ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai
dengan disiplin mereka masing-masing. Untuk memudahkan mereka melakukan penafsiran
sekaligus memberikan rambu-rambu agar tidak terjerumus dalam kesalahan, maka
dibakukanlah qaidah-qaidah tersebut.
Secara global penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an dilakukan oleh Al-Qur’an sendiri. Ayat-ayat yang di-mujmal-kan
pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada
tempat yang sama seperti firman Allah :
وما أدري كما ليلة القدر, ليلة القدر
خير من ألف شهر …..
atau
disebutkan pada tempat (surat) yang lain sebagaimana tafsir ayat
صراط الذين أنعمت عليهم
adalah
ayat :
فألئك مع الذين أنعم الله عليهم من
النبيين والصدقين والشهداء والصالحين و حسن أولئك رفيقا
Artinya,”
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:
Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. 4:69)
Apabila methode ini tidak ada, maka
menafsirkan Al-qur’an dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan penjelasan
bagi al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Aku
diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu As-Sunnah) (HR.
Muslim ).
Ketika
Aisyah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam , Beliau menjawab:
(كان خلقه القرآن )
Maksudnya:
Akhlak Rasulullah adalah Al-Qu’an (HR. Muslim ).
Apabila tidak ada tafsiran dari
Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka melihat
fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah.
Abdullah bin Mas’ud berkata; Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya,
tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa
diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui
tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia.
Begitu juga dengan Abdullah bin
Abbas yang dijuluki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa SalamTarjuman
AL-Qur’an dan sahabat yang lain seperti Said bin Musayyab, dan lainnya.
sebagai
Kalau dengan Al-Qur’an, Sunnah dan
perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk kepada
perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahid bin
Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Qur’an dari awal
sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan
At-Tsauri berkata; Apabila ada tafsir dari Mujahid maka itu sudah cukup.[1]
Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, menyebutkan penafsiran
itu ada empat macam: Pertama, Penafsiran yang diketahui oleh orang Arab
melalui tuturannya. Kedua, Penafsiran yang bisa diketahui oleh semua
orang yaitu yang menyangkut halal dan haram. Ketiga, penafsiran yang
hanya diketahui oleh para Ulama, Keempat, Penafsiran yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah.[2]
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan
Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan pemahaman
terhadap bahasa Arab dan qaidah-qaidahnya, di samping pemahaman terhadap ulumul
qur’an yang lain, juga fikih, qawaid dan ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain
sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-ahwa (napsu)
semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan terhadap
Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa
yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS.16: 116)
Rasulullah dalam banyak haditsnya mengingatkan untuk tidak
menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di antaranya adalah:
من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوأ مقعده من النار
Maksudnya; Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil
tempatnya di neraka”. Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda;
من قال في القرآن برأيه فقد أخطأ
Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya,
maka ia telah keliru”, (HR. Turmudzi, Abu Daud, dan Nasa’i) Abu Bakar berkata;
Langit yang mana aku bernaung, bumi yang mana aku berpijak, kalau aku
menafsirkan Kitabullah tanpa ilmu.
Ini menunjukkan kehati-hatian ulama’
salaf (sahabat, tabi’in dan berikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah
tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang
dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah
maka tidaklah termasuk dalam ancaman di atas,[3]
menafsirakan AL-Qur’an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak zaman
Rasulullah, dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak menafsirkan
masalah-masalah penting dalam agama.[4]hudan
(petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat Dan
Rasulullah sendiri merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad
dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak
mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti
dilakukan agar Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi
Metodologi Tafsir Maudhu'i
Metodologi Tafsir adalah cara
menafsirkan al-Qur'ân, baik yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber
penafsirannya, atau sistem penjelasan tafsir-tafsirnya, ataupun keluasan
penjelasan tafsir-tafsirnya ataupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib
ayat-ayat yang ditafsirkan.[5]
Pada kesempatan yang berbahagia ini,
saya akan menyampaikan salah satu contoh metodologi tafsir dengan menggunakan
Metode Tafsir Maudhu'i. Metode Tafsir Maudhu'i juga dikenal
dengan Metode Tematik, ada dua pengertian dalam metode ini, tapi saya hanya
menyampaikan salah satu metode saja yang insya Allah akan saya gunakan dalam
membuat contoh bagaimana metode tafsir ini dipergunakan.
Tafsir Maudhu'i adalah
menafsirkan al-Qur'ân dengan cara menghimpun ayat-ayat mengenai satu tema
tertentu dengan memperhatikan kronologi dan hubungan masa turun dan asbab
al-nuzul, hubungan ayat dengan ayat dalam menunjuk suatu permasalahan.[6]
Adapun tema yang saya angkat untuk
menyelesaikan tugas akhir dalam mata kuliah Ilmu Tafsir ini adalah mengenai
'adil' yang dimaksud dalam surah an-Nisaa ayat 3. An-Nisaa ayat 3 lebih dikenal
dengan ayat tentang poligami, tetapi yang akan saya bahas dalam kesempatan kali
ini adalah bagaimana ayat ini menjelaskan tentang adil, bagaimana dan seperti
apa adil yang dimaksud Allah dalam ayat ini, sehingga kita dapat menfsirkan
sesuatu atau firman Allah dengan metode yang benar.
Allah menyebutkan kata adil dalam
al-Qur'ân dalam arti yang berbeda-beda, diantaranya adalah :
1. Adil dalam perihal takaran atau
timbangan, adil dalam ayat ini tentunya bermakna jangan mencurangi atau
menambah takaran atau timbangan.
وَيَا
قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا
النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya : "Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan"[7]
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ
وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Artinya : "Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil
dan janganlah kamu mengurangi neraca itu".[8]
2. Adil dalam
membantu keluarga dan kerabat dekat.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran".[9]
3. Adil dalam
memberikan keputusan atas sebuah perkara.
إِذْ
دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى
بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا
إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ
Artinya : "Ketika mereka masuk
(menemui) Daud lalu ia terkejut Karena kedatangan) mereka. mereka berkata:
"Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang
salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah Keputusan
antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah
kami ke jalan yang lurus"[10]
4. Mendamaikan dua
golongan yang sedang berperang dengan adil (tidak berpihak)
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ
إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya : "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia
Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil".[11]
5. Adil adalah
manifestasi dari sebuah ketaqwaan, dan jangan sampai kebencian kita terhadap
suatu kaum membuat kita menjadi tidak adil.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan".[12]
6. Adil adalah
kesempurnaan dari Tuhan yang tidak dapat dirubah
وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya : "Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran)
sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah
kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui".[13]
7. Adil dalam
perspektif damai atau tidak memerangi orang yang tidak memerangi kita atau
mengusir kita.
لا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya " "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil".[14]
8. Adil sebagai
saksi
فَإِذَا
بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Artinya : "Apabila mereka Telah mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar".[15]
Beberapa ayat di atas tentunya
memiliki makna dan arti tersendiri, dan adil dalam surah an-Nisaa ayat 3 akan
saya coba tafsirkan.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya
: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya".[16]
Dalam tafsir Baidhawi disebutkan
bahwa jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai. Artinya jika kamu tidak mampu
berlaku adil pada yatim perempuan apabila kamu menikahinya maka nikahilah
perempuan yang lain yang kamu sukai, jangan sampai karena kecantikan dan harta
yatim tersebut mengakibatkan lelaki tersebut menghalangi atau menutup gadis
tersebut untuk dinikahi orang lain, hanya untuk menguasai harta dan kecantikan
yatim tersebut.
Dalam tafsir Qurthubi disebutkan
bahwa lelaki yang tidak mampu berlaku adil kepada anak yatim yang akan
nikahinya dalam membayar mahar dan menfkahinya, maka perempuan lain lebih baik
baginya.
Adil menurut ad-Dhahaq adalah dalam
segi cinta, kasih sayang, hubungan suami isteri, nafkah dan lain-lain.
Sedangkan menurut tafsir jalain adil disini adalah nafkah dan giliran.
Azbabun nuzul dari ayat ini adalah
kondisi masyarakat Arab yang cenderung menjaga dan enggan menikahkan anak yatim
yang berada dalam pemeliharaan mereka, ayat ini merupakan peringatan kepada
mereka agar jika mereka menikahi anak yatim tersebut harus adil ( dalam
membayar mahar dan nefkah ) dan harus memberikan kesempatan kepada lelaki lain
yang ingin menikahi anak yatim tersebut.
Dari uraian di atas penulis lebih
setuju terhadap penafsiran yang menyimpulkan bahwa adil yang dimaksud adalah
adil dalam materi dan nafkah serta giliran. Karena menurut Allah tidak ada
seorangpun yang mampu berlaku adil dalam persoalan kasih sayang. Allah melarang
kita untuk lebih cenderung kepada seseorang dan menelantarkan yang lain Hal ini
sesuai dengan ayat Allah :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا
بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ
كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya
: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang".[17]
Jadi, adil yang dimaksud dalam
al-Qur'ân khususnya pada surah an-Nisaa ayat 3 adalah adil dalam memberikan
nafkah dan adil dalam giliran. Serta Allah mengatakan dengan gamblang bahwa
tidak ada seseorangpun yang mampu berlaku adil walau ia sangat menginginkannya.
Yang dilarang oleh Allah bukan tidak adilnya, tetapi menelantarkan isteri yang
lain karena terlalu cenderung terhadap salah satu isterinya.
Memandang ayat di atas, penulis yang
lemah dan baru belajar ini mencoba menarik kesimpulan bahwa Allah memberikan
peringatan kepada lelaki yang padanya ada tanggungan anak yatim, yaitu mereka
harus adil ketika mereka menikahi anak yatim yang dalam penjagaan mereka dalam
hal mahar dan nafkah. Disisi lain Allah juga menyebutkan bahwa ketika seorang
lelaki berpoligami atau memiliki isteri lebih dari satu, dalam persoalan hati
pasti mereka tidak dapat berlaku adil, tapi yang dilarang dalam Islam adalah
cenderung kepada salah satu dan menelantarkan yang lainnya.
Daftar Pustaka
Abdullah bin Su’ud Al-Badr, Tafsir
Ummul Mukminin Aisyah Radiyallahu Anha, terj. Tafsir Aisyah Ummul
Mukminin, (Jakarta:Daar Al-Falah, 1422).
Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, (
Beirut : Darul Fikri, TT ).
Al-Qurthuby, Abu Abdullah Muhammad, al-Jami'
al-Ahkamul al-Qur'an, ( Riyadh : Darul 'Ilmi, 2003 ).
Al-Muhilly dan al-Sayuthi, Tafsir
Jalalain, ( Qahirah : Darul Hadits, TT ).
Ibnu Katsir, Imaduddin. Tafsir
Al-Qur’an Al-Adzim-Muqaddimah.(Riyad: Daar As-Salam, cetakan I, 1997).
Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah. Majmu’
Fatawa-Tafsir- (Makkah: Mathba’ah al-Hukumah, TT) juz. 13.
Wajidi Sayadi dalam Abdul Djalal, Urgensi
Tafsir Maudhu'i Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990 ).
__________, dalam Abd al-Hayy
al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i Dirasah Manhajiyyah
Maudhu'iyyah ( Riyadh : Maktabah, 1976 ).
[1] Ibnu
Katsir, Imaduddin. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim-Muqaddimah.(Riyad: Daar
As-Salam, cetakan I, 1997) hal. 20
[2] Taqiyuddin
Ahmad bin Taimiyah. Majmu’ Fatawa-Tafsir- (Makkah: Mathba’ah al-Hukumah,
TT) juz. 13 hal, 375.
[4] Abdullah
bin Su’ud Al-Badr, Tafsir Ummul Mukminin Aisyah Radiyallahu Anha, terj. Tafsir
Aisyah Ummul Mukminin, (Jakarta:Daar Al-Falah, 1422).
[5] Menurut
Wajidi Sayadi dalam Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu'i Pada Masa Kini,
( Jakarta : Kalam Mulia, 1990 ), h. 62
[6] Menurut
Wajidi Sayadi dalam Abd al-Hayy al-Farmawiy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu'i Dirasah Manhajiyyah Maudhu'iyyah ( Riyadh : Maktabah, 1976 )
h.23
0 komentar: