Makalah GERAKAN RASULULLAH DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
GERAKAN
RASULULLAH
DALAM
MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI
A. Pendahuluan
Secara
etimologis (bahasa), masyarakat madani jika dielaborasi terdiri dari dua kata
“masyarakat” yang artinya sekumpulan orang, dan “madani” yang berarti
peradaban, sehingga masyarakat madani adalah sekumpulan orang (masyarakat) yang
beradab. Secara tidak langsung hal ini merupakan penyederhaaan dan transfer
bahasa dari kata civil dan civilized (beradab) dan
society (masyarakat/sosial). Walaupun dalam arkeologi istilah
ilmiah, terjemahan civil society untuk masyarakat madani, adalah
kebetulan dan tepat. Tetapi yang jelas ada dua kutub yang berbeda dalam segi
bahasa antara masyarakat madani dan civil society.
Masyarakat
madani merupakan konstruksi bahasa yang “Islami” yang mengacu pada kata al-din,
yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan maknaal-tamadun,
atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-Madinahyang
berarti kota.
Dengan dmikian,
maka terjemahan masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban
dan perkotaan. Di sini agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya,
dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Sebagaimana
dimaklumi, konsep tentang masyarakat madani muncul ke permukaan dan menjadi
perbincangan hangat di kalangan akademisi dan politisi adalah sekitar tahun
1980 an, dan hal itu diilhami dan dipicu dengan jatuhnya hampir seluruh regim
di Eropa Timur. Istilah ini menjadi buah bibir dan ramai di kalangan
intelektual Indonesia, setelah jatuhnya regim Soeharto dan bebasnya Indonesia
dari cengkeraman orde baru.
Makalah ini
tidak berpretensi untuk membahas konsep msyarakat madani dikaitkan dengan
Negara Indonesia, bukan pula pencarian akar dari kelahiran masyarakat madani
yang oleh mayoritas ilmuwan diyakini lahir pertama kali pada masyarakat Islam
awal melalui bimbingan langsung dari Rasulullah SAW. Namun mencoba
memperhatikan gerakan dan usaha apa saja yang dilakukan Rasul dalam membentuk
masyarkat madani tersebut. Selain itu juga perilaku dan sepak terjang para
penerusnya untuk mengembangkan dan memajukan masyarakat yang telah dibangun
Rasul tersebut.
B. Konsep
Madani
Kata Madani berasal
dari bahasa Arab m-d-n yang artinya menempati suatu tempat
(Ar-Raziy dalam Mukhtar as-Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian
dibentuk katamadinah yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok
orang, sehingga lawan kata al-madinah
adalah al-badiyah yang berarti kehidupan yang masih nomaden.
Bentuk jamaknya adalah madain atau mudun.
Kata madani merupakan bentuk dari mashdar
shina’iy, yang menunjukkan arti sifat yang
dimiliki orang kota (min ahlil madinah).
Hanya saja dalam
perkembangan berikutnya, kata madani –juga kata hadharah–, ini
digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa
Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang
berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan
kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat
negara,madani memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam
konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga,
hukum perdata sering disebut qanun madani, seperti
undang-undang sipil perkawinan disebut
dengan qanun al-zawaj al-madani.
Anwar Ibrahim
mengartikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perseorangan dengan kestabilan masyarakat. Pelaksanaannya antara lain berupa
pelaksanaan pemerintahan yang tunduk pada undang-undang dan terselenggaranya
sistem yang transparan.
Nurcholis Madjid
mengartikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang berperadaban
(ber-“madaniyyah”) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran
kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada
hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless)
Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa
seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara.
BJ Habibie
pernah memerintahkan LIPI dan BP7 untuk merumuskan makna masyarakat madani yang
lebih tepat untuk konteks Indonesia. Menurut Dr Alfitra Salamm, peneliti pada
LIPI dan BP7 yang mendapat tugas menginventarisasikan konsep masyarakat madani
dari para cendekiawan se-Indonesia, konsep masyarakat madani tidak terlalu jauh
berbeda dengan konsep civil society, yakni berintikan demokrasi dan
kedaulatan rakyat. Tapi kalau civil society melulu bicara dalam
paradigma politik, konsep masyarakat madani juga mengandung unsur keagamaan.
Cendekiawan
Malaysia Profesor Naquib Al-Attas –yang pernah mengadakan diskusi bertema
“Masyarakat Madani or Civil Society“– berusaha mempresentasikan bahwa
paradigma masyarakat madani lebih relevan untuk masyarakat ideal masa depan
daripada konsep civil society. Menurut Hatta, istilah
masyarakat madani yang dipopulerkan oleh Al-Attas ini merupakan
terjemahan dari kosa kata bahasa Arab,mujtama’ madani, yang secara etimologis
mempunyai dua arti. Pertama, “masyarakat kota”,
karena madani adalah turunan dari kata bahasa Arab, madinah,
yang berarti kota. Kedua, masyarakat yang berperadaban,
karena madani adalah juga turunan dari kata bahasa
Arab, tamaddun atau madaniyyah yang berarti peradaban dalam
bahasa Inggris ini dikenal sebagai civility atau civilization.
Maka dari nama ini, masyarakat madani bisa berarti sama dengan civil
society, yaitu masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.
Namun bagi Ahmad
Hatta, secara terminologis, masyarakat madani adalahkomunitas muslim
pertama di kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW dan diikuti
oleh keempat Khulafaur-Rasyidin. Masyarakat yang dibangun pada zaman Rasul
tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural
mengandung substansi keadaban (civility). Karena itu model masyarakat ini
sering dijadikan model sebuah masyarakat modern, sebagaimana yang juga diakui
oleh seorang sosiolog kenamaan, Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief
(1976). Bellah mengakui, dalam buku hasil penelitiannya terhadap agama-agama
besar di dunia itu, bahwa masyarakat yang dipimpin Rasulullah itu merupakan
masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya. Masyarakat ini telah
melakukan lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan tata sosial dan pembangunan
sistem politiknya.
Upaya Ahmad
Hatta merujuk pada komunitas zaman Nabi itu tentu bukan sekedar mengada-ada
serta bukan sebuah sikap pembelaan yang tanpa alasan. Sebab kecanggihan
masyarakat yang pernah dibangun Nabi itu juga masih bisa dirunut jejaknya
melalui sebuah piagam tertulis yang disebut dengan Piagam Madinah (Mitsaqul
Madinah).
C. CIRI-CIRI
MASYARAKAT MADANI
Ketika
masyarakat madani disejajarkan dengan istilah civil socity, maka beberapa
ilmuwan kemudian merangkum ciri-ciri umum masyarakat madani yang terdiri dari:
1. Free
public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses
penuh terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan
pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan informasi kepada publik.
2. Demokratisasi,
yaitu proses di mana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya
dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya
3. Toleransi,
yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4. Pluralitas,
yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai
dengan sikap tulus,
5. Keadilan
sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6. Partisipasi
sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain.
7. Supremasi
hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan
Ciri-ciri tersebut muncul ketika
masyarakat madani disejajarkan dengan civil socity yang tercerabut
dari akar agama. Maka yang tampak adalah identitas-identitas sosial yang sangat
antroposentris tanpa ruh agama, akibatnya terdapat paradoks pemahaman dan
aplikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Islam yang berwatak rahmatan lil
alamin yang dilahirkan dari ruh tauhid itulah yang memberikan “makna” pada
masyarakat madani. Masyarakat yang secara vertical-transedental mendapatkan
kasih sayang dari Tuhan yang Rahmah dan secara horizontal-humanistik menebarkan
kasih sayang kepada sesama.
D. Gerakan Rasulullah
Membangun masyarakat Madani
Gerakan Rasulullah
dalam membangun masyarakat madinah saat itu tersusun rapi dalam sebuah sistem
yang terkonsep, yang dapat disebut sebagai konsep Madanî,yakni sebuah
model yang merujuk bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membangun
kerangka masyarakat Madinah, masyarakat yang dibangun di atas tiga landasan
utama yaitu: masyarakat yang berlandaskan pada integritas moral, yang
berbasis masjid; berdasarkan kapasitas ilmu yang dilambangkan oleh
gerakan keilmuan dan aturan atau hukum (Piagam Madinah) dan mengembangan kualitas
jaringan yang dilambangkan dengan persaudaran sahabat dan surat-surat
kepada raja-raja semenanjung Arab.
1. Integritas
moral
Moral atau
akhlak merupakan dasar utama gerakan Rasul membangun peradaban, bahkan
perbaikan moral merupakan tujuan utama beliau diutus, sebagaimana sabdanya:
“Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (makarimal
akhlak)”. Masyarakat yang dibentuk di atas landasan moral yang kuat seperti ini
akan menjadi masyarakat yang tangguh, berkarakter, bertanggung jawab dan
memiliki responsibility yang kuat terhadap lingkungannya. Integritas moral ini
dapat menjadi kekuatan yang dahsyat ketika berlandaskan pada tauhid, jauh
dari syirik dan memberikan seluruh ketundukan dan ibadah hanya kepada Allah SWT.
semata. Inilah yang dilakukan oleh Rasul pada permulaan Islam pada fase Mekah.
Penguatan moral
ini terus berlanjut dan menjadi modal dasar gerakan Rasul hingga di Madinah
dengan berbasiskan masjid. Sebut saja pertanyaan, mengapa langkah pertama yang
dilakukan Rasulullah SAW saat membangun masyarakat Islam di Madinah adalah
membangun masjid? Jawabannya bisa dilihat bagaimana Rasulullah menfungsikan
masjid itu sendiri.
Masjid, pada
hakikatnya adalah tempat untuk manifestasi ketundukan dan ketaatan seorang
Mukmin kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan kata lain, masjid
merupakan ekspresi ibadah seorang Muslim.
وَأَنَّ
الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
”Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang
pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. 72/18).
Jadi
kesimpulan besar dari fungsi masjid itu adalah sebagai lokasi yang dikhususkan
untuk beribadah kepada Allah. Lalu, secara faktual Rasulullah dan generasi
setelahnya ternyata menjadikan masjid bukan sekedar tempat untuk beribadah
shalat, namun lebih dari itu. Karena ibadah seperti dijelaskan oleh Ibn
Taymiyyah adalah sebuah sebutan yang mencakup segala hal yang disukai dan
diridlai Allah, baik itu berupa lisan atau tindakan yang lahir atau pun yang
tersembunyi. Perspektif ibadah seperti inilah yang harus ditanamkan oleh kita
semua, sehingga kita semua selalu bersemboyan seperti yang digambarkan oleh
Allah:
قُلْ
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah:
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. 6/162)
2.
Kapasitas
Ilmu
Islam
adalah agama ilmu. Pernyataan ini tidak berlebihan dan memang apa adanya. Hal
ini bisa dibuktikan dengan penekanan kata “iqra”, pada awal kelahiran Islam.
Wahyu pertama mengisyaratkan kepada umat Islam mengenai urgensi “membaca”, dan
itu merupakan sumber ilmu. Pada ayat-ayat yang diturunkan selanjutnya, Allah
mengajarkan berbagai pokok dan macam ilmu yang tersebar dalam al-Qur’an.
Begitulah
Islam meletakkan ilmu pada posisi yang sangat tinggi. Kemudian untuk
menjadikan manusia dapat belajar, Allah memberikan tiga modal utama (adâwât
al-Ilm): al-Sam’ (pendengaran), al-Abshâr (penglihatan)
dan al-Afidah (akal dan nurani).
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. 16/78)
Ilmu
dalam pandangan Islam tidak bebas nilai. Ilmu harus berpihak kepada kebenaran
dan kebaikan. Karena itulah ilmu harus dituntun oleh agama, dengan kata lain,
“manusia yang memiliki kapasitas ilmu yang tinggi harus memiliki juga
integritas moral yang kuat”. Apabila itu tidak terjadi maka yang ada adalah
kerusakan. Oleh karena itu, Rasul menempatkan ilmu bersanding dengan iman dan
keduanya dikembangkan dalam tempat yang sama yaitu masjid.
Maka
bisa diperhatikan bagaimana Rasulullah, selain menfungsikan masjid untuk shalat
berjamaah, beliau juga telah menjadikan masjid sebagai
basis ta’lîm dantarbiyyah (pendidikan dan pengajaran). Bagi
Rasulullah, masjid adalah sekolah untuk internalisasi nilai-nilai kebaikan dan
kebajikan serta pengetahuan.
Menarik diperhatikan
hadits Rasulullah berikut ini:
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ:”مَنْ
غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ
يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ (أخرجه الطبراني(
Dari
Abî Umâmah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Siapapun
berangkat menuju masjid dan ia tidak menginginkan kecuali untuk belajar
kebaikan atau mengetahui kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala yang
hajinya sempurna.” (HR. Ath Thabrânî).
Ada
benang merah kenapa langkah paling pertama yang dilakukan Rasulullah saat tiba
di Madinah adalah masjid, yakni memberikan pesan bahwa sebuah masyarakat
hendaknya dibangun atas landasan iman dan ilmu.
Dalam
Islam, iman dan ilmu merupakan dua hal yang saling terkait dan integratif serta
tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangan Islam, ilmu/sains/ pengetahuan tidak
malah menciptakan ideologi semacam agnostik atau ateistik. Islam memandang
bahwa untuk mencapai keimanan yang benar, haruslah ditempuh melalui proses
belajar atau proses ”mengetahui”. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ …
“Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah…” (QS. 47/19)
Atas
dasar semangat belajar inilah peradaban Islam tumbuh dan berkembang serta
memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap peradaban dunia. Dalam
sejarahnya, masjid benar-benar telah menjadi sekolah-sekolah dan
universitas-universitas tempat lahirnya dan sebagai kawah
candradimuka ulama dan ilmuwan. Masjid menjadi perangkat shina’âh
al-Hayâh yang mengantarkan masyarakar Muslim menjadi soko guru dunia
(ustâzdiyyah al-’Ălam).
Dalam
sejarah peradaban Islam, kita mengenal Masjid Amr ibn ’Ăsh di Fustat Mesir,
tempat lahirnya harakat ’ilmiyyah di Mesir; Masjid Umawy di Damaskus;
Masjid Al-Manshûr di Baghdad; Masjid Al-Qarawayin di Maroko yang terkenal
dengan metodologi cara belajar-mengajarnya, dilengkapi dengan asrama-asrama
mahasiswa dan perpustakaan, yang diminati oleh kalangan umat Islam maupun
non-Muslim dari seluruh pelosok dunia, khususnya dari Eropa termasuk di antara
alumninya itu adalah Gerbert d’Aurillac yang lantas menjabat sebagai Paus
Gereja Katolik Roma sejak 999 hingga 12 Mei 1003; demikian pula Masjid
Al-Zaytûnah di Tunisia yang terkenal dengan ilmu-ilmu syariat dan logikanya,
bahkan perpustakaan masjid di Tunisia itu memiliki koleksi lebih dari 200 ribu
jilid buku; demikian Masjid Al-Azhar yang kemudian menjadi Universitas Al-Azhar
yang sangat terkenal itu.
Masjid-masjid
itu terus melahirkan ulama dan ilmuwan, yang akhirnya masjid-masjid membangun
tempat-tempat khusus untuk proses belajar dan mengajar, yang pada era
berikutnya dikenal dengan madrasah. Lalu masjid-masjid pun hanya
diperuntukkan untuk pengajaran ilmu-ilmu syariah saja. Maka tibalah era di mana
umat Islam mulai lemah dalam bidang sains dan pengetahuan, yang lalu diperparah
oleh tiga petaka yang mendera umat ini.
Pertama, pembumihangusan
Kota Fustat tahun 564 H. Kedua, pembumihangusan Baghdad, sebagai
pusat peradaban Islam ketika itu pada tahun 656 H. Ketiga,Jatuhnya Andalus
di Spanyol pada tahun 897 H.
Pasca
jatuhnya kiblat sains dan pengetahuan umat Islam di Baghdad, Mesir dan Spanyol,
ummat Islam seperti ayam kehilangan induknya. Hasil ramuan umat Islam antara
Islam dengan filsafat Yunani itu telah memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan sains di dunia Barat, dan kemudian Barat menjadikan sains
sebagai entitas tersendiri dan terpisah dari agama (Kristen), lantaran
pengalaman ketidaksinkronan antara sains dan Kristen yang berdarah-darahan.
Imbasnya, umat Islam era sekarang ini mengikuti cara pandang Barat tersebut,
yang memisahkan antara sains dan agama.
Secara
singkat bisa dikatakan bahwa peradaban suatu umat manusia akan mencapai
keemasannya ketika mereka dapat menguasai sains dan ilmu pengetahuan. Sains dan
ilmu pengetahuan yang unggul hanya akan lahir dari rahim pendidikan yang
berkualitas. Perdaban Islam lalu Barat telah membuktikan bagaimana sains dan
ilmu pengetahuan telah mengantarkan kepada masyarakat yang maju dan terdepan.
Hanya saja peradaban umat Islam memiliki nilai tambah, yakni dilengkapi juga
dengan peradaban spiritual, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara peradaban
material dengan peradaban jiwa kerohaniaan.
عن
أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب العلم فريضة على كل
مسلم… – ابن ماجة
Dari Anas bin Mâlik
berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mencari ilmu itu kewajiban
atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Mâjah)
Dengan
ilmu yang diajarkan secara langsung oleh Allah itu pulalah Rasulullah
menggerakkan masyarakat madinah menjadi masyarakat modern pertama di dunia.
Piagam madinah diyakini sebagai dokumen modern pertama di dunia yang
menggambarkan demokratisasi, kedamaan, pluralitas dan berbagai cirri masyarakat
modern. Sebagaimana pernyataan sejarahwan dan sosiolog ternama Barat, Robert N.
Bellah, Piagam Madinah yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi
termodern di zamannya, atau konstitusi pertama di dunia.
Sebagai
produk yang lahir dari rahim peradaban Islam, Piagam Madinah diakui sebagai
bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun masyarakat Madinah
yang plural, adil, dan berkeadaban. Petikan lengkap terjemahan Piagam Madinah
yang terdiri dari 47 pasal dilampirkan.
3.
Kualitas Jaringan
Jaringan,
relasi atau net working, saat ini menjadi salah satu penentu kesuksesan
seseorang. Karena itulah sejak awal Rasulullah memerintahkan umatnya agar
senang bersilaturrahim, bahkan silaturrahim akan mendatangkan rizki dan
memanjangkan umur. Karena Fungsi dan manfaat silaturrahim inilah kemudian
dikonsepsi silaturrahim sebagai bagian dari sifat umat Islam.
Sejak
fase Makah, Rasulullah telah mengembangkan kualitas jaringan yang dimulai
dengan kesadaran bersama untuk berjuang yang dilakukan di rumah Arqam, yang
kemudian dikenal dalam Muhammadiyah dengan istilah “Darul Arqam”. Selanjutnya
Rasul mengirimkan berbagai surat ke beberapa pemimpin di dunia Arab sebagai
media dakwah. Pengiriman surat itu kemudian dilanjutkan ketika beliau di
Madinah. Pada puncaknya, Rasul mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshor.
Gerakan dan kebijakan terakhir ini tidak pernah dilakukan oleh pemimpin dunia
manapun, dan itulah yang memberikan nilai fundamental sekaligus menjadi
kekuatan Islam.
Selain
itu juga Rasul dan umatnya membangun relasi dengan lingkungan kota Madinah,
yaitu orang Yahudi Madinah. Untuk kepentingan hidup bersama dan berelasi dengan
orang lain. Karena kepentingan itul pula akhirnya timbul piagam madinah.
E. Penutup
Sebagai
bagian akhir dari tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan pernyataan Amir
Sakib Arsalan ketika menjawab pertanyaan “limadza taakharal muslimuna
wataqaddama ghairuhum”. Ia menjawab: “taraakal muslimuna dinahum fataakharu
wataraka ghairuhum dinahum fataqqadamu”.
Dalam
kaitannya dengan itu, untuk membangun masyarakat madani Rasul telah memberikan
tiga titik fokus; integritas moral, kapasitas ilmu dan kualitas jaringan.
Sebagai generasi Islam dan pemimpin masa depan, sudah seyogyanya kita
memaksimalkan tenaga dan kemampuan kita untuk berusaha mewujudkan itu dalam
kehidupan kita. Amin.
.::______::
Terjemah
Piagam Madinah
Piagam Madinah
Preambule:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari
Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri
dan berjuang bersama mereka.
Pasal
1 : Sesungguhnya mereka satu umat,
lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal
2 : Kaum Muhajirin (pendatang) dari
Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin.
Pasal
3 : Banu ‘Awf, sesuai keadaan
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula,
dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara
mukminin.
Pasal
4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan
tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan
tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan
dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu
membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan
tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan
tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal
11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat
menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam
pembayaran tebusan atau diat.
Pasal
12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu
mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.
Pasal
13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara
mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan
atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam
menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.
Pasal
14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran
(membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir
untuk (membunuh) orang beriman.
Pasal
15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang
dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada
golongan lain.
Pasal
16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan
dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal
17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat
perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan
Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal
18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu
sama lain.
Pasal
19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam
peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada
petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal
20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang
(musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.
Pasal
21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas
perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima
diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal
22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya
pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman
kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi
pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan
tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.
Pasal
23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut
(ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.
Pasal
24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal
25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum
Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini
berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim
dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Pasal
26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal
27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal
28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal
29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal
30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal
31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf,
kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan
keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal
33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal
34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu
Sa’labah).
Pasal
35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal
36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad
SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang
lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa
diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat
membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal
37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada
kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi
musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan
dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya.
Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.
Pasal
38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.
Pasal
39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam
ini.
Pasal
40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin,
sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal
41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.
Pasal
42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung
Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya
menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW.
Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal
43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi
pendukung mereka.
Pasal
44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota
Yatsrib.
Pasal
45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak
lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian
itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin
wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang
yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing
sesuai tugasnya.
Pasal
46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban
seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan
penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu
berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas
perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi
Piagam ini.
Pasal
47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang
yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang
yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan
takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW
Casino: Slots, Live dealers, and Table Games
ReplyDelete› casino-slots › 바카라쿠폰 live-dealer 바카라게임사이트 › casino-slots › live-dealer Oct 20, 2021 — Oct 20, 2021 There is no shortage 셉인소 of ways 포커 족보 순위 to enjoy an authentic experience at the world's most popular casino, with slots and table games and 먹튀검증사이트 more.