Thursday, February 7, 2013

Sepenggal Kisah Bangku Kuliah Arik


Sepenggal Kisah Bangku Kuliah
Aku masih mempunyai hutang pada seseorang. Bukan materi, tetapi kisah. Entah apa yang dimaksudnya. Aku tak mengerti kisah mana yang harus kuungkap. Tapi mungkin yang ini tidak buruk…
Awal pertemuan kami di kampus. Sebenarnya jujur saja, aku sudah mengenalnya terhitung saat OPAK. Bukan. Aku bukan mengenal namanya. Juga tidak tahu siapa dia. Yang aku maksud adalah aku mengenalnya dari mataku. Melihat wajah itu pertama kali di lobi dakwah, serasa tidak asing. Seperti pernah mengenal. Tapi entahlah, mungkin hanya orang yang mirip. Saat itu kami masih memakai atribut sialan yang tanpa pernak-pernik itu kami bisa kena hukuman. Aku melihatnya memakai kemeja putih dan mahkota layaknya seorang raja. Ia tengah tersenyum, tapi bukan padaku. Dan kukira dia memang orang yang mudah tersenyum. Untuk mengisi tanda tangan buku OPAK ku yang blm lengkap, kudekati sembarang maba untuk kumintai tanda tangan. Termasuk orang itu.
Saat kutemui, aku masih ingat kata-kata yang diucapkannya, “Ya ampun, kita serasa artis ya! Pada dimintai tanda tangan.” Kalimat itu ia tujukan pada teman sampingnya. Begitu mendengarnya, entah apa yang kurasakan. Yang jelas, aku menyadari satu hal. PD sekali orang ini! Kurasa dia pasti selalu enteng dengan kata-katanya.
Setelah aku mendapatkan tanda tangan itu, kulihat namanya. Asyhari Amri. Saat itu aku tidak tahu apa arti dari nama itu, dan juga tidak terlalu peduli untuk memperhatikannya. Namun sekilas kulihat tulisan dan tanda tangan yang ia torehkan. Kenapa jelek sekali? pikirku. Tapi ya sudah, buat apa pusing2 liat tulisan? Lebih baik aku segera kembali ke barisan orang-orang teraniaya.
Puncak OPAK adalah makrab di pantai Gunung Kidul. Aku sekadar menikmatinya sebagai sesuatu hal yang biasa. Saat itu kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan di antara anggota kelompokku, tidak ada satu pun yang aku kenal sebelumnya. Setelah kami berkenalan dan mencoba mengakrabkan diri, mulailah perjalanan kami menyusuri pegunungan sepanjang pantai.
Di tengah perjalanan inilah aku kembali bertemu orang aneh itu. Aku pikir wajahnya memang mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga orang baru pun akan dengan mudah menghafal wajahnya. Ketika itu kelompokku sedang menghentikan perjalanan karena 2 orang dari anggota kami hilang. Kami pikir mereka berdua tertinggal, jadi kami berinisiatif menunggu mereka. Di saat posisi menunggu itulah, beberapa kelompok lain lewat sambil meneriakkan yel-yel yang sebelumnya telah dibuat. Ada yang hanya berisi untuk menyemangati dan membanggakan kelompoknya sendiri, namun ada pula yel-yel yang digunakan untuk mengejek kelompok lain—termasuk kelompokku. Satu per satu dari kelompok mereka bersorak-sorak mengejek, sementara kelompokku hanya diam-diam saja menerima ejekan itu. Apa boleh buat? Kami tidak punya persiapan yel-yel untuk membalas ejekan kelompok lain. Aku pun hanya turut diam, sambil sesekali tertawa dan mencoba menimpali ejekan mereka seadanya dengan seruan seperti, ‘biarin yee!’ atau ‘enggak pentiiing!’ atau juga ‘udah-udah pergi aja sana!’
Lucu juga kalau dipikir-pikir. Dan tau nggak, apa yel-yel kelompok orang itu tadi untuk mengejek kelompokku? Ini bunyinya, “Permisi kakaak! Kok sepi sih? Sorakin hu (huuu) sorakin hi (hiii), dimuntahin! Whooegg!”. Sialan bener kelompok ni anak. Mau nimpalin gimana coba? Akhirnya aku cuma bisa bilang, “Enggaak pentiing! Enggaak pentiing!”. Bener-bener nggak punya modal buat ngeledek. Itu cerita seputar makrab.
Kini aku berada dalam satu kelas. Ya. Satu kelas SOSPEM dengannya. Tidak menduga bukan? Kunikmati saja hari-hari awalku sebagai mahasiswa. Dan kuperhatikan, dia aktif sekali di kelas. Pernah aku satu kelompok dengannya. Ketika itu kami ditugaskan membuat semacam stasiun TV beserta program acaranya. Dan stasiun yang kami buat itu, kami beri nama L TV. Yang artinya Lesson TV.
Menginjak tahap menjadi mahasiswa normal, aku mulai belajar di bangku kuliah. Dan yang tidak kusangka lagi, ternyata aku sekelas lagi dengan laki-laki itu. Mulai dari situlah aku mengetahui banyak tentangnya, termasuk baik dan buruknya dia. Ternyata dia benar-benar aktif di kelas. Meski latar belakangnya bukan sebagai lulusan pondok pesantren, namun kulihat dia berusaha seolah menyetarakan derajat. Dan sedikit aku pun mengetahui motivasi yang mendorongnya aktif di kelas. Seiring berjalannya waktu, perlahan sifat-sifat asli kami di kelas mulai bermunculan. Dan yah, aku nikmati saja semua itu. Perlahan pula aku mulai mengenalnya. Mengenal percaya dirinya yang sering berlebihan. Mengenal sifatnya yang tak bisa kalem. Mengenal pemikirannya yang kurasa belum terlalu dewasa, atau mungkin aku yang salah. Dan juga termasuk mengenal namanya dalam arti lain. Asyhari Amri. Ternyata nama itu mengandung makna yang sejalan dengan apa yang ia cita-citakan. Dan aku hanya bisa mengamininya. Namun yang terkadang menjadi kekesalanku tersendiri adalah nama panggilannya. Bagaimana bisa, dan bahkan dengan bangganya ia memberikan panggilan nama untuknya dengan sebutan ‘Arik’ ? Kenapa harus ditambah ‘k’ ? Apa bagusnya? Keren? Keren dari mana? Nggak ada kerennya sama sekali. Aku terkadang memang seperti itu. Suka ikut campur dengan hal kecil orang lain. Dan sama-sama keras kepala, kami selalu berdebat dengan mempertahankan opini masing2. Tidak ada yang mau mengalah. Dan itu yang terkadang membuatku kesal, hingga lebih memilih untuk diam. Malas lagi untuk berbicara dengannya.
Oh iya, untuk di awal2 kuliah, aku sempat kaget dengan beberapa kebetulan yang ada di antara kami. Mulai dari binder campus yang sama persis (hanya berbeda warna dan ukuran), lalu ilmu psikologi yang sama-sama kami sukai dan tertarik untuk mendalaminya. Lalu flashdisk yang lagi2 sama persis (hanya beda warna). Juga kami sama2 penjual pulsa. Oh, aku ingat. Ada lagi satu kejadian yang sempat membuatku bertanya-tanya sekaligus benar-benar surprise. Itu terjadi ketika lomba presenter dalam rangaka memeriahkan gebyar KPI 2012. Tahap seleksi, aku tidak lulus. Padahal aku sudah cukup optimis. Namun malam harinya aku diberi kabar bahwa ada kesalahan informasi. Dan hasilnya adalah ternyata aku lulus babak pertama. Dan yang lebih mengagetkan lagi, pagi harinya kutemui laki-laki itu tengah duduk sebagai peserta final. Bagaimana mungkin? Sedangkan ketika pengumuman aku tidak mendengar namanya disebut sebagai peserta yang lolos seleksi. Dan sampai sekarang, kejadian itu cukup menjadi hal tak terduga yang pernah kualami. Terlebih kejadian yang sama2 kami alami.
Mungkin itu sedikit cerita singkatku. Aku tak begitu mengerti untuk apa aku menceritakan semua ini, selain untuk melunasi hutangku. Dan hari ini, 28 Januari 2013, aku tahu sebagai hari ulangtahunnya yang ke 19. Mungkin hanya ini hadiah kecil yang bisa aku berikan. Sebagai tanda bahwa ia telah menjadi salah satu teman yang baik padaku. Yang senang membantuku, berkorban waktu maupun tenaga untukku, meski tak jarang pula aku dibuat kesal olehnya. Namun untuk semua yang telah ia lakukan, aku ucapkan beribu pucuk terimakasih. Thanks for everything that u have given to me. Dan aku ucapkan pula lembar-lembar maaf yang mungkin tak dapat menebus kesalahanku. Mungkin pula aku pernah menyakiti hatinya, atau bahkan sering. Atas perlakuanku, sikapku, dan apapun kesalahan yang ada padaku. Namun jujur, tak pernah ada niat yang terselip untuk menyakiti. Aku hanya tak ingin sesuatu yang mungkin tak kuharapkan terjadi. Hingga terpaksa aku harus menjadi orang lain yang mungkin tak akan ia senangi. Dibalik itu semua, sekali lagi… akan kuucapkan selamat ulang tahun…! Semoga mendapat usia yang benar-benar dapat bermanfaat. Senantiasa memperbaiki diri menjadi yang lebih baik. And the last, good luck for your dream.
28 Januari 2013

By Eki Arum Khasanah

0 komentar: