Sepenggal Kisah Bangku Kuliah Arik
Sepenggal
Kisah Bangku Kuliah
Aku masih
mempunyai hutang pada seseorang. Bukan materi, tetapi kisah. Entah apa yang
dimaksudnya. Aku tak mengerti kisah mana yang harus kuungkap. Tapi mungkin yang
ini tidak buruk…
Awal pertemuan
kami di kampus. Sebenarnya jujur saja, aku sudah mengenalnya terhitung saat
OPAK. Bukan. Aku bukan mengenal namanya. Juga tidak tahu siapa dia. Yang aku
maksud adalah aku mengenalnya dari mataku. Melihat wajah itu pertama kali di
lobi dakwah, serasa tidak asing. Seperti pernah mengenal. Tapi entahlah,
mungkin hanya orang yang mirip. Saat itu kami masih memakai atribut sialan yang
tanpa pernak-pernik itu kami bisa kena hukuman. Aku melihatnya memakai kemeja
putih dan mahkota layaknya seorang raja. Ia tengah tersenyum, tapi bukan padaku.
Dan kukira dia memang orang yang mudah tersenyum. Untuk mengisi tanda tangan
buku OPAK ku yang blm lengkap, kudekati sembarang maba untuk kumintai tanda
tangan. Termasuk orang itu.
Saat kutemui,
aku masih ingat kata-kata yang diucapkannya, “Ya ampun, kita serasa artis ya!
Pada dimintai tanda tangan.” Kalimat itu ia tujukan pada teman sampingnya.
Begitu mendengarnya, entah apa yang kurasakan. Yang jelas, aku menyadari satu
hal. PD sekali orang ini! Kurasa dia pasti selalu enteng dengan kata-katanya.
Setelah aku
mendapatkan tanda tangan itu, kulihat namanya. Asyhari Amri. Saat itu aku tidak
tahu apa arti dari nama itu, dan juga tidak terlalu peduli untuk
memperhatikannya. Namun sekilas kulihat tulisan dan tanda tangan yang ia
torehkan. Kenapa jelek sekali? pikirku. Tapi ya sudah, buat apa pusing2 liat
tulisan? Lebih baik aku segera kembali ke barisan orang-orang teraniaya.
Puncak OPAK
adalah makrab di pantai Gunung Kidul. Aku sekadar menikmatinya sebagai sesuatu
hal yang biasa. Saat itu kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan di antara
anggota kelompokku, tidak ada satu pun yang aku kenal sebelumnya. Setelah kami
berkenalan dan mencoba mengakrabkan diri, mulailah perjalanan kami menyusuri
pegunungan sepanjang pantai.
Di tengah
perjalanan inilah aku kembali bertemu orang aneh itu. Aku pikir wajahnya memang
mempunyai kekhasan tersendiri, sehingga orang baru pun akan dengan mudah
menghafal wajahnya. Ketika itu kelompokku sedang menghentikan perjalanan karena
2 orang dari anggota kami hilang. Kami pikir mereka berdua tertinggal, jadi
kami berinisiatif menunggu mereka. Di saat posisi menunggu itulah, beberapa
kelompok lain lewat sambil meneriakkan yel-yel yang sebelumnya telah dibuat.
Ada yang hanya berisi untuk menyemangati dan membanggakan kelompoknya sendiri,
namun ada pula yel-yel yang digunakan untuk mengejek kelompok lain—termasuk
kelompokku. Satu per satu dari kelompok mereka bersorak-sorak mengejek,
sementara kelompokku hanya diam-diam saja menerima ejekan itu. Apa boleh buat?
Kami tidak punya persiapan yel-yel untuk membalas ejekan kelompok lain. Aku pun
hanya turut diam, sambil sesekali tertawa dan mencoba menimpali ejekan mereka
seadanya dengan seruan seperti, ‘biarin yee!’ atau ‘enggak pentiiing!’ atau
juga ‘udah-udah pergi aja sana!’
Lucu juga kalau
dipikir-pikir. Dan tau nggak, apa yel-yel kelompok orang itu tadi untuk
mengejek kelompokku? Ini bunyinya, “Permisi kakaak! Kok sepi sih? Sorakin hu
(huuu) sorakin hi (hiii), dimuntahin! Whooegg!”. Sialan bener kelompok ni anak.
Mau nimpalin gimana coba? Akhirnya aku cuma bisa bilang, “Enggaak pentiing!
Enggaak pentiing!”. Bener-bener nggak punya modal buat ngeledek. Itu cerita
seputar makrab.
Kini aku berada
dalam satu kelas. Ya. Satu kelas SOSPEM dengannya. Tidak menduga bukan? Kunikmati
saja hari-hari awalku sebagai mahasiswa. Dan kuperhatikan, dia aktif sekali di
kelas. Pernah aku satu kelompok dengannya. Ketika itu kami ditugaskan membuat
semacam stasiun TV beserta program acaranya. Dan stasiun yang kami buat itu,
kami beri nama L TV. Yang artinya Lesson TV.
Menginjak tahap
menjadi mahasiswa normal, aku mulai belajar di bangku kuliah. Dan yang tidak
kusangka lagi, ternyata aku sekelas lagi dengan laki-laki itu. Mulai dari
situlah aku mengetahui banyak tentangnya, termasuk baik dan buruknya dia. Ternyata
dia benar-benar aktif di kelas. Meski latar belakangnya bukan sebagai lulusan
pondok pesantren, namun kulihat dia berusaha seolah menyetarakan derajat. Dan
sedikit aku pun mengetahui motivasi yang mendorongnya aktif di kelas. Seiring
berjalannya waktu, perlahan sifat-sifat asli kami di kelas mulai bermunculan. Dan
yah, aku nikmati saja semua itu. Perlahan pula aku mulai mengenalnya. Mengenal
percaya dirinya yang sering berlebihan. Mengenal sifatnya yang tak bisa kalem.
Mengenal pemikirannya yang kurasa belum terlalu dewasa, atau mungkin aku yang
salah. Dan juga termasuk mengenal namanya dalam arti lain. Asyhari Amri. Ternyata
nama itu mengandung makna yang sejalan dengan apa yang ia cita-citakan. Dan aku
hanya bisa mengamininya. Namun yang terkadang menjadi kekesalanku tersendiri
adalah nama panggilannya. Bagaimana bisa, dan bahkan dengan bangganya ia
memberikan panggilan nama untuknya dengan sebutan ‘Arik’ ? Kenapa harus
ditambah ‘k’ ? Apa bagusnya? Keren? Keren dari mana? Nggak ada kerennya sama
sekali. Aku terkadang memang seperti itu. Suka ikut campur dengan hal kecil
orang lain. Dan sama-sama keras kepala, kami selalu berdebat dengan
mempertahankan opini masing2. Tidak ada yang mau mengalah. Dan itu yang
terkadang membuatku kesal, hingga lebih memilih untuk diam. Malas lagi untuk
berbicara dengannya.
Oh iya, untuk di
awal2 kuliah, aku sempat kaget dengan beberapa kebetulan yang ada di antara
kami. Mulai dari binder campus yang sama persis (hanya berbeda warna dan
ukuran), lalu ilmu psikologi yang sama-sama kami sukai dan tertarik untuk
mendalaminya. Lalu flashdisk yang lagi2 sama persis (hanya beda warna). Juga kami
sama2 penjual pulsa. Oh, aku ingat. Ada lagi satu kejadian yang sempat
membuatku bertanya-tanya sekaligus benar-benar surprise. Itu terjadi ketika
lomba presenter dalam rangaka memeriahkan gebyar KPI 2012. Tahap seleksi, aku
tidak lulus. Padahal aku sudah cukup optimis. Namun malam harinya aku diberi
kabar bahwa ada kesalahan informasi. Dan hasilnya adalah ternyata aku lulus
babak pertama. Dan yang lebih mengagetkan lagi, pagi harinya kutemui laki-laki
itu tengah duduk sebagai peserta final. Bagaimana mungkin? Sedangkan ketika
pengumuman aku tidak mendengar namanya disebut sebagai peserta yang lolos
seleksi. Dan sampai sekarang, kejadian itu cukup menjadi hal tak terduga yang
pernah kualami. Terlebih kejadian yang sama2 kami alami.
Mungkin itu
sedikit cerita singkatku. Aku tak begitu mengerti untuk apa aku menceritakan
semua ini, selain untuk melunasi hutangku. Dan hari ini, 28 Januari 2013, aku
tahu sebagai hari ulangtahunnya yang ke 19. Mungkin hanya ini hadiah kecil yang
bisa aku berikan. Sebagai tanda bahwa ia telah menjadi salah satu teman yang
baik padaku. Yang senang membantuku, berkorban waktu maupun tenaga untukku,
meski tak jarang pula aku dibuat kesal olehnya. Namun untuk semua yang telah ia
lakukan, aku ucapkan beribu pucuk terimakasih. Thanks for everything that u
have given to me. Dan aku ucapkan pula lembar-lembar maaf yang mungkin tak
dapat menebus kesalahanku. Mungkin pula aku pernah menyakiti hatinya, atau
bahkan sering. Atas perlakuanku, sikapku, dan apapun kesalahan yang ada padaku.
Namun jujur, tak pernah ada niat yang terselip untuk menyakiti. Aku hanya tak
ingin sesuatu yang mungkin tak kuharapkan terjadi. Hingga terpaksa aku harus
menjadi orang lain yang mungkin tak akan ia senangi. Dibalik itu semua, sekali
lagi… akan kuucapkan selamat ulang tahun…! Semoga mendapat usia yang
benar-benar dapat bermanfaat. Senantiasa memperbaiki diri menjadi yang lebih
baik. And the last, good luck for your dream.
28 Januari 2013
By Eki Arum
Khasanah
0 komentar: