Thursday, May 30, 2013

Studi Lapangan Studi Agama Kontemporer di Wihara Candi Mendut

Informasi studi lapangan SAK :
Tempat            : Wihara Candi Mendut Magelang
Waktu             : Senin, 20 Mei 2013
Narasumber     : Bante Cuti Damo
            Awalnya sebelum mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Ibu Evi ini sepertinya cukup sulit bagi penulis untuk dapat memahami agama Budha dengan lebih baik. Agama Budha saat ini memang menjadi agama yang cukup mempunyai banyak penganut baik didunia maupun di Indonesia, para penganutnya berpendapat jika agama ini dapat memberikan ketenangan batin yang sukar didapatkan tanpa belajar dengan sang Biksu melalui ritus-ritus seperti semedi dsb. Namun apakah hanya hal tersebut yang menjadi daya tarik ataupun pesona dari agama yang disampaikan oleh Budha Sidarta Gautama ini. Awalnya memang penulis hanya mengetahui hal-hal itu saja, tapi setelah mengikuti dialog interaktif bersama di Wihara Candi Mendut membuat sedikit membuka wawasan penulis tentang agama Budha ini.

            Kemudian dari hasil dialog itu banyak hal dapat diketahui dari sebelumnya belum diketahui. Diawali dari patung-patung yang ada disekitaran area Wihara, mungkin banyak yang berpendapat jika hal tersebut adalah suatu benda suci yang sangat disakralkan. Namun, ternyata semua itu tak sepenuhnya benar, melainkan sebenarnya semua itu tidak lebih dari sekedar hiasan atau pernak-pernik dan karya seni untuk lebih mempercantik tampilan Wihara tersebut. Biasanya patung hiasan ini berada diluar gedung wihara dan bentuk serta ukurannya pun sangat beragam, mulai dari patung hewan, budha, dewi dll. Memang tidak semua patung yang ada hanya sebagai hiasan, tapi tetap ada yang disakralkan untuk peribadatan yaitu patung yang berada dalam wihara guna untuk ritual sembahyang para umat Budha. Dan yang cukup menarik disini adalah jika ternyata patung dalam agama Budha yang ada pada awalnya merupakan pengaruh dari kebudayaan agama Hindu dan kemudian diterapkan dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Budha hingga sekarang. Untuk ketepatan wajah Budha dalam patung-patung tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya karena patung itu diciptakan ratusan tahun jauh setelah Budha Sidarta Gautama meninggal dunia.
            Lanjut Menurut sang Biksu mengatakan jika yang beribadat dengan menggunakan patung itu adalah kebanyakan para umat budhist yang masih dalam kategori dasar, sedangkan yang sudah mencapai tingkat tinggi tidak memerlukan lagi patung untuk beribadat. Karena mereka sudah dapat mencapai ketenangan dalam beribadat dimanapun dan kapanpun tanpa harus menggunakan objek patung. Inilah yang membedakan tingkat ketinggian keilmuan seorang budist.
            Waktu kunjungan kemarin bertepatan dengan hari-hari menjelang hari besar Waisak, dan sang Bhiksu pun tak lupa menerangkan tentang perihal hari suci umat budhist tersebut. Waisak merupakan hari peringatan Trisuci yakni peristiwa kelahiran, pencerahan dan kematian dari sang Budha Gautama yang terjadi pada masa lalu. Untuk detailnya :
Dirayakan dalam bulan Mei pada waktu terang bulan (purnama sidhi) untuk memperingati 3 (tiga) peristiwa penting, yaitu :
1.     Lahirnya Pangeran Siddharta di Taman Lumbini pada tahun 623 S.M.,
2.     Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha di Buddha-Gaya (Bodhgaya) pada usia 35 tahun pada tahun 588 S.M.
3.     Buddha Gautama parinibbana (wafat) di Kusinara pada usia 80 tahun pada tahun 543 S.M.

Yang paling menarik dari kunjungan tersebut adalah penuturan dari sang bhiksu mengenai bagaimana toleransi antar umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia terhadap umat Budhist. Sang Bhiksu mengatakan jika toleransi yang terjalin hingga sekarang sudah cukup baik, ini terbukti dari beberapa daerah yang ada di jawa tengah dan sangat terlihat kerukunan yang nyata yang ada dalam kehidupan keseharian antar umat disana. Misalnya saja ketika umat muslim mempunyai acara ataupun hajatan maka tak sungkan untuk para umat Budhist untuk membantu dan jika hal tersebut berhubungan dengan keagamaan maka umat Budhist akan menghormatinya. Begitupun sebaliknya.

Yang perlu digaris bawahi menurut Bhiksu adalah jika toleransi dua agama ini hingga sekarang terjalin dengan baik, tanpa ada sesuatu yang tidak baik. Maka dari itu marilah kita berupaya untuk menjaga hal tersebut hingga akhir nanti, agar kita dapat hidup berdampingan damai tanpa ada diskriminasi dan ada yang merasa terkucilkan. Amien. 

0 komentar: