Makalah Bani Umayyah
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah
ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada
nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan
keindahan syurga.
Kami menulis makalah
ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas akhir yang diberikan oleh
bapak dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam dengan mengusung judul Peradaban
Islam Pada Masa Daulah Umayah II di Andalusia/Spanyol dan Daulah Fatimiyah di
Mesir. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya
adalah untuk mengetahui latar belakang munculnya peradaban islam di Spanyol,
menjelaskan berdirinya daulah Umayah di Spanyol, masa kejayaan Daulah Umayah di
Spanyol, dan masa keruntuhan Daulah Umayah di Spanyol.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan
maslahat bagi semua orang.
Wa’alamualaikum Wr.Wb
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................
1
DAFTAR ISI ...............................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
3
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
3
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................
4
BAB III KESIMPULAN .............................................................................
31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
kita tahu bahwa dalam sejarah islam, sistim pemerintahan yang diterapkan seringkali
berubah-ubah dari aktu kewaktu. Mulai dari sistem demokrasi yang diterapkan
pada zaman Nabi Muhammad hingga pada masa Khulafa’urrasyidin. Tetapi setelah
masa khulafa’urrasyidin usai, sistem pemmerintahanpun juga ikut berubah yang
semula demokrasi berubah menjadi monarchi yang mana pusat pemerintahan dipegang
oleh oleh seorang raja dan keturunanya, yang mana pada saat itu merupakan masa
pemerintahan bani Umayyah. Kita tentu tau bahwa ada banyak peristiwa yang
melatar belakangi bisa berkuasanya bani umayyah pada saat itu. Diantaranya yang
paling penting dan paling diingat oleh umat islam adalah peristiwa tahkim
(arbitrase) antara khalifah Ali bin abi thalib dengan mu’awiyyah bin abi
sufyan. Dan ada banyak peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan
bani Umayyah yang mana akan dijelaskan secara panjang lebar dalam makalah ini.
1.2 Rumusan masalah.
a. Berdirinya bani Umayyah
b. Mengenal sistem pemerintahan bani umayyah di Damaskus dan Andalusia
c. Mengenal khalifah-khaifah pada masa bani umayyah
d. Kemajuan-kemajuan pada masa bani umayyah
e. Kehancuran bani umayyah dan faktor-faktor yang melatarbelakangi hal
tersebut
BAB 1I
PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya bani Umayyah
Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa
ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan
sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama dinasti
ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah
pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut
juga dengan Mu’awiyah. Ia adalah pendiri dan Khalifah pertama Dinasti ini.
Terbentuknya Dinasti ini dan Muawiyah memangku jabatan khalifah secara resmi,
menurut ahli sejarah, terjadi pada tahun 660 M/40 H pada saat Umayah memproklamirkan
diri menjadi khalifah di Iliyah (Palestina), setelah pihaknya dinyatakan oleh
Majelis Tahkim sebagai pemenang, Pemerintahan Dinasti Umayah (41-132 H).
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah, sebagai penganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerakan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah Muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan. Yaitu Muawiyah harus menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan pendukungnya. Pernyataan ini diterima Muawiyah dan dibuat secara tertulis. Persetujuan Muawiyah ini diimbangi oleh Hasan dengan membaiatnya. Rakyat juga menunjukkan ketaatan dengan membaiatnya.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaanya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai cita-citanya karena pertimbangan politik dan tuntunan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator bergabung ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada.
Peristiwa itu terjadi setelah Hasan bin Ali yang dibaiat oleh pengikut setia Ali menjadi khalifah, sebagai penganti Ali, mengundurkan diri dari gelanggang politik. Sebab, ia tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah yang lebih besar, dan menyerakan kekuasaan sepenuhnya kepada Muawiyah. Langkah penting Hasan bin Ali ini dapat dikatakan sebagai usaha rekonsiliasi umat Islam yang terpecah belah. Karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan (am al-jama’at). Yaitu episode sejarah yang mempersatukan umat kembali berada dibawah kekuasaan seorang khalifah. Rujuk dan perdamaian antara Hasan dan Muawiyah setelah Muawiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan. Yaitu Muawiyah harus menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan harta keturunan Ali dan pendukungnya. Pernyataan ini diterima Muawiyah dan dibuat secara tertulis. Persetujuan Muawiyah ini diimbangi oleh Hasan dengan membaiatnya. Rakyat juga menunjukkan ketaatan dengan membaiatnya.
Muawiyah dikenal sebagai seorang politikus dan administrator yang pandai. Umar bin Khattab sendiri pernah menilainya sebagai seorang yang cakap dalam urusan politik pemerintahan, cerdas dan jujur. Ia juga dikenal seorang negarawan yang ahli bersiasat, piawai dalam merancang taktik dan strategi, disamping kegigihan dan keuletan serta kesediaanya menempuh segala cara dalam berjuang. Untuk mencapai cita-citanya karena pertimbangan politik dan tuntunan situasi. Dengan kemampuan tersebut dan bakat kepemimpinan yang dimilikinya, Muawiyah dinilai berhasil merekrut para pemuka masyarakat, politikus, dan administrator bergabung ke dalam sistemnya pada zamannya, untuk memperkuat posisinya dipuncak pimpinan. Muawiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa bersifat toleran dan lapang dada.
b. Sistem pemerintahan bani umayyah
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta
pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan
dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para
penggantinya dengan menyempurnakannya. Pertama, pemindahan pusat pemerintahan
dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politik
dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung
Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah,
sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua bani itu dalam
memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam
(Suria) adalah daerah yang berada di bawah gengaman pengaruh Muawiyah selama 20
tahun sejak ia diangkat menjadi Gubernur di distirk itu sejak zaman khalifahumarbinkhatab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil baik para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihakkepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitumemperluaswilayahkekuasaan.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di zaman itu. Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang sangat banyak dipengaruhi oleh kebudayaan byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskanmelaluimusyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkatputramahkotasebagaipenggantinya.
Keputusan ini direkayasa oleh Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia (Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu, kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.
Walaupun Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil baik para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihakkepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitumemperluaswilayahkekuasaan.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab. Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di zaman itu. Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang sangat banyak dipengaruhi oleh kebudayaan byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah. Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskanmelaluimusyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkatputramahkotasebagaipenggantinya.
Keputusan ini direkayasa oleh Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia (Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu, kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.
Walaupun Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.
B. Perkembangan Pada
Masa Bani Umayyah
Dinasti Bani Umayyah
berdiri selama ± 90 tahun (40 – 132 H / 661 – 750 M) dan didirikan oleh
Muariyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah, dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.
Dinasti Umayyah sangat bersifat Arab Orientalis, artinya dalam segala hal dan
segala bidang para pejabatnya berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula
dengan corak peradabannya. Pada masa dinasti ini banyak kemajuan, perkembangan,
dan perluasan daerah yang dicapai, terlebih pada masa pemerintahan Khalifah
Walid bin Abdul Malik (86 – 96 H / 705 – 715 M).
Pada masa awal
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan ada usaha memperluas wilayah kekuasaan ke
berbagai daerah, seperti ke India dengan mengutus Muhallab bin Abu Sufrah, dan
usaha perluasan ke Barat ke daerah Byzantium di bawah pimpinan Yazid bin
Muawiyah. Selain itu juga mengerahkan kekuatannya untuk merebut pusat-pusat
kekuasaan di luar jazirah Arab, antara lain kota Konstantinopel.
Al-Usairy menyebut
empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah :
1. Muawiyah seorang
sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik, yaitu tidak
mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali, namun tetap
ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah keempat
Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis
dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar Madinah, sementara
Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima khulafaur rasydin.
Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah, “Manusia terbaik adalah
manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi
setelah mereka.”
2. Dinasti Umayyah
selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat
utama.
3. Dinasti Umayyah
melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara dengan menguasai
negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah timur, Andalusia
(Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
4. Dinasti Umayyah
sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan
hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah
kekuasaan.
Pernyataan Al-Usairy
patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa dipercaya
karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan kedua,
tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar Umayyah
pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang digunakan
oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah lainnya. Oleh
karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang karena
dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang dima’shum,
kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti
Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya tidak menghargai
kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa ditundukan. Ulama-ulama
yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa ditundukan dikejar dan
dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.
Oleh karena itu kami
akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara mereka
mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a)
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari
Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai
Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil.
Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali
Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah
menyentuh wilayah yang sangat luas.
Mengenai kehebatan
ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah
mampu mendirikan imperium mereka di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak
saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangant imperialisme Arab.
b)
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan
mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi pemerintahan.
c)
Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
1)
Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh
keuangan negara, termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk
masyarakat
2)
Diwan al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir
semua hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
3)
Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat
dan memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4)
Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan
berita-berita antara raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
5)
Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus
perkara
6)
Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan
bersenjata dan mengkordinirnya.
d)
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai monumen
dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid Muawiyah di
Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e)
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam yang
diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
C.
Kemunduran Peradaban Islam pada Masa Bani Umayyah
Kemunduran Pada Masa
Bani Umayyah
Ada 7 faktor penyebab
kemunduran kekuasaan Bani Umayyah, yaitu :
- Persoalan suksesi kekhalifahan
- Sikap glamor penguasa
- Perlawanan kaum Khawarij
- Perlawanan dari kelompok Syi’ah
- Meruncingnya pertentangan etnis
- Timbulnya stratifikasi sosial
- Munculnya kekuatan baru
Sedangkan kemunduran
atau bahkan kehancuran peradaban Islam pada masa Bani Umayyah ini oleh karena 2
sebab, yaitu :
- Hancurnya kekuasaan Islam di Andalusia
dan rendahnya semangat para ahli dalam menggali budaya Islam
Kehancuran kekuasaan
Islam di Andalusia pada 1492 M berdampak buruk terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam. Para ahli tidak banyak memiliki motivasi untuk mengkaji
ilmu pengetahuan lagi. Karena mereka sudah merasa putus asa skibat serangan
yang dilakukan oleh para penguasa Kristen, dan tindakan para penguasa tersebut
terhadap peninggalan peradaban Islam di Andalusia, seperti penghancuran
pusat-pusat peradaban Islam dan sebagainya.
- Banyaknya orang Eropa yang menguasai
ilmu pengetahuan dari Islam
Di lembaga-lembaga
pendidikan tinggi, tidak hanya orang-orang Islam yang diberikan kesempatan
mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga kesempatan itu diberikan kepada semua
orang, termasuklah orang-orang Kristen Barat yang tertarik untuk mempelajari
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam.
Ketertarikan karena
metode ilmiah Islam, seorang pendeta Kristen Roma anggota Ordo Fransiskan dari
Inggris bernama Roger Bacon (1214 – 1292 M) datang belajar bahasa Arab di Paris
antara tahun 1240 – 1268 M. Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa Latinnya
itu, ia dapat membaca naskah asli dan terjemahan berbagai ilmu pengetahuan,
terutama ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan dibawanya ke Inggris pada
Universitas Oxford, lalu diterjemahkannya dengan menghilangkan nama pengarang
aslinya, yang kemudian dikatakannya sebagai hasil karyanya sendiri. Sejak saat
itulah mulai banyak bermunculan orang Eropa yang menterjemahkan buku-buku yang
dikarang oleh tokoh-tokoh Islam sebagai hasil karyanya sendiri.
D. Khalifah-khalifah
bani Umayyah
- 1.
Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu
Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd
Syam. Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang
politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar
bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah
sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah
ini.
Dalam diri Mu’awiyah
seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang
(dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis
biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar
biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai
gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan
kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum
musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat
tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Pada masa
pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama,
yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di
Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat
Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib
Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal
di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan wilayah
Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.
Kesuksesan Muawiyah ini
karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr ibn
Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi
(Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan
Muawiyah.
Selain ketiga orang
tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah. Mereka
masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil dicetak oleh
Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan terorganisir.
Beberapa keberhasilan
Muawiyah selain perluasan daerah islam.
- Pencipataan stabilitas nasional. Pada
masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali
letupan-letupan kecil saja.
- Pendirian departemen pencatatan
adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah
pemerintahan islam.
- Pendirian pelayanan pos untuk
menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi
diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya
menggunakan kuda dan keledai.
- Pembangunan departemen pemungutan
pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi
masyarakat.
Muawiyah meninggal pada
bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin
yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan
yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan
bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
- 2. Yazid
ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn
Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung
oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali
terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah sistem
pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat
membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen
ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh
tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin
pemerintahan.
Kecuali sedikit
penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang
menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua
tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang
sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat
rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen
dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada
pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena
Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan
pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin
pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu
Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid
menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.
Yazid meninggal dunia
pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah
menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan islam.
- 3.
Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti
Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan
pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun
ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya
sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
- 4.
Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi
khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah
hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas
masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah.
Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang
berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat
di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).
- 5. Abdul
Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn
Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah
satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya
sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa,
apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan
mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64
sampai 73 H.
Di pihak Dinasti
Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul
Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum
sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh
Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi
khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap
sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun
kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah
II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk,
karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka
adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada
masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata
uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi
pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi
selama 13 tahun.
- 6. Walid
ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai
seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan
bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid
Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid
Nabawi.
Selain terkenal dengan
membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan
kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits,
Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima
besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki
Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil
menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn
Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan
Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin
luas.
Walid berkuasa sampai
tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal
dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang.
Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
- 7. Sulayman
ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh
ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam setelah Walid
mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk
menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu
Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz
untuk menggantikanya. Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan
pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz
sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling
hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/ 717 M.
- 8. Umar
ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz
adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar
khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum
ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya
raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan
uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang
raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap
sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam
abad kedua hijriyah.
Walaupun masa
pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak
perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan
semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh
saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa
pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi
islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara
dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam,
yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari
jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan
yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti
justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
- 9. Yazid
ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan
yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia
memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat
duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti
Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini
terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada jamannya
berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam
bin Abdul Malik.
Yazid memerintah selama
hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk dan diwarnai oleh adanya
konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam
sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan
dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
- 10. Hisyam ibn Abdul Malik
(105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah
kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu
dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul
Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz. Hiiti
memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah
Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik. Hal ini karena pada masa
pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan
tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat
dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan atau data
yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan referensi
yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama hampir dua
puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah. Hal ini
disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam
pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali
ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan
pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang
Arab Selatan dan Arab Utara.
- 11. Walid bin Yazid ibn Abdul
al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743
M)
Penerus Hisyam, Walid
bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan
keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat,
ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak
menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn
al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid
dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh
pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
- 12. Yazid bin Walid atau Yazid
III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya,
pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun
sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un
setelah memerintah selama enam bulan.
- 13. Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd
al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah
selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu
khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah
semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh
Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II
yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus.
Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah
Jilid I.
- 14. Marwan ibn Muhammad ibn
Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai
raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia
mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan
sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi
hancur.
Pada masa ini kekuatan
kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan
Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani
memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang
dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun
pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum
Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748
M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai
Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula,
tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober, as-Shaffah dibait menjadi
khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan
pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah.
Dengan terbunuhnya
Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah
seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari
kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah
jilid II di Andalusia.
E. Masa Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol
Spanyol atau Andalusia di kuasai oleh umat Islam pada
zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah Daulah Umayah yang berpusat di Damaskus. Bani Umayyah merebut
Spanyol dari bangsa Gothia pada masa khalifah al Walid ibn ‘Abd al Malik
(86-96/705-715). Penaklukan Spanyol diawali dengan pengiriman 500 orang tentara
muslim dibawah pimpinan Tarif ibn Malik pada tahun 91/710. Pengiriman pasukan Tarif
dilakukan atas undangan salah satu raja Gothia Barat, dimana salah satu putri
ratu Julian yang sedang belajar di Toledo (ibu kota Visigoth) telah diperkosa
oleh raja Roderick. Karena kemarahan dan kekecewaannya, umat Islam diminta
untuk membantu melawan raja Roderick. Pasukan Tarifa mendarat di sebuah tempat
yang kemudian diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil, dan Tarifa kembali ke
Afrika Utara dengan membawa banyak Ghanimah. Musa ibn Nushair, Gubernur
Jenderal al Maghrib di Afrika Utara pada masa itu, kemudian mengirimkan 7000
orang tentara di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Ekspedisi II ini mendarat di
bukit karang Giblartar (Jabal al Thariq) pada tahun 92/711. Sehubungan
Tentara Gothia yang akan dihadapi berjumlah 100.000 orang, maka Musa Ibn Nushair
menambah pasukan Thariq menjadi 12.000 orang.
Pertempuran pecah di dekat muara
sungai Salado (Lagund Janda) pada bulan Ramadhan 92/19 Juli 711.
Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran
berikutnya, sampai akhirnya ibu kota Gothia Barat yang bernama Toledo dapat
direbut pada bulan September tahun itu juga. Bulan Juni 712 Musa ibn Nushair
berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang kota-kota
yang belum ditaklukan oleh Thariq sampai pada bulan Juni tahun berikutnya. Di
kota kecil Talavera Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa, dan pada saat
itu pula Musa mengumumkan bahwa Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan
Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan Islam di Andaluisa oleh Thariq
hampir meliputi seluruh wilayah bagiannya, keberhasilannya tidak terlepas dari
bantuan Musa ibn Al Nushair.
Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus runtuh pada tahun
132/750, Andalusia menjadi salah satu provinsi dari Daulah Bani Abbas. Salah
satu pangeran Dinasti Umayyah yang bernama Abd al Rahman ibn Mu’awwuyah, cucu
khalifah Umawiyah kesepuluh Hisyam Ibn Abd al Malik berhasil melarikan diri
dari kejaran-kejaran orang-orang Abbasiyah
setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus dan menginjakan kaki
di Spanyol. Atas keberhasilannya meloloskan diri ia diberi gelar al Dâkhil.
Keberhasilan pemuda 21 tahun itu, merupakan sejarah
menarik dalam sejarah peradaban islam. Dalam pengepungan yang dilakukan oleh
pengikut Abbasyiah, ia berhasil lolos dan bersembunyi dirumah seorang arab
badui ditepi sungai Euffart, akan tetapi para pengepung itu muncul dekat dengan
tempat persenbunyiannya lalu Abdurrahman mencuburkan diri kesungai dan selamat
sampai keseberang. Lolos dari pengepungan itu Abdurrahman ke Spanyol setelah
melewati Palestina, Mesir, dan Afrika Utara selama 5 tahun, tetapi ketika di
Afrika Utara ia hampir dibunuh oleh gubernur setempat.
Kedatangan Abdurrahman di bumi Spanyol disambut baik
oleh penduduk di beberapa kota di bagian selatan, dan menjadikannya sebagai
penguasa mereka. Misalnya, Sidona dan Sevilla. Akan tetapi ada juga penguasa
yang tidak menyukai kedatangan abdurrahman yaitu Yusuf ibn Rahman Al-fihri,
gubernur Spanyol (Andalusia) waktu itu. Ketika Abdurrahman dan pengikutnya ke
Coedoba. Yusuf al-fihri mempersiapkan pasukannya untuk menghadang Abdurrahman,
dan kedua pasukan ini bertemu di Bakkah.
Pada tahun 138/756 al Dâkhil berhasil menyingkirkan
Yusuf ibn Abd al rahman al Fihri yang menyatakan diri tunduk kepada dinasti
Bani Abbas, dan sejak saat itu ia memporklamirkan bahwa Spanyol lepas dari
kekuasaan Dinasti Bani Abbas. Al Dâkhil memproklamirkan diri sebagai khalifah
dengan gelar amîr al mu’minîn. Sejak saat itulah babak kedua kekuasan
Dinasti Ummayah dimulai. Pemerintahan Bani
Umayyah Spanyol (Bani Umayyah II) merupakan pemerintahan pertama yang
memisahkan diri dari dunia pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya
adalah Abdurrahman ad Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abd MalikUmawi.
Diantara khalifah -
khalifah Umayyah II yang terkemuka diantaranya:
* Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)
* Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)
* Al Hakam bin Hisyam (796-821 M)
* Abdurrahman ibnul Hakam (821-852 M)
* Muhammad bin Abdurrahman (852-886
M)
* Abdullah bin Muhammad (889-912 M)
* Abdurrahman bin Muhammad (912-961
M)
Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar yang kokoh
bagi tegaknya Daulah bani Umayyah II di Spanyol. Pusat kekuasan Umayyah di
Spanyol dipusatkan di Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil berkuasa selama 32
tahun, dan selama masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai masalah dan
ancaman, baik pemberontakan dari dalam maupun serangan musuh dari luar.
Ketangguhan al Dâkhil sangat disegani dan ditakuti, karenanya ia dijuliki
sebagai Rajawali Quraisy. Pada masa didirikannya dinasti Umayyah II ini,
umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang politik
maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan
sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu
dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol.
Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.
Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman
al-Ausath. Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaannya pada masa al Nashir dan
kekuasaannya masih tetap dapat dipertahankan hingga masa kepemimpinan Hakam II
al Muntashir (350-366/961-976).
Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu
dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada
periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada
tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping
itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting
diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang
berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara
orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi.
Namun ada yang berpendapat pada masa ini dibagi
menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912) dan masa ke Khalifahan (912-1013).
Jadi Gelar yang digunakan pada masa dinasti ini adalah Amîr, dan ini tetap
dipertahankan oleh penerusnya sampai awal pemerintahan amir kedelapan Abd al
Rahman III (300-350/912-961). Proklamasi Khilafah Fathimiyyah di Ifriqiyah (297/909,
serta merosotnya kekuatan Daulah Abasiyyah sepeninggal al Mutawakkil
(232-247/847-861) mendorong Abd al rahman III untuk memproklamasikan diri
sebagai khalifah dan bergelar amîr al mu’minîn. Ia juga menambahkan
gelar al Nashir dibelakang namanya mengikuti tradisi dua khalifah lainnya. Jadi
penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman
III, bahwa Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia
dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan
bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia
berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar
khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih.
Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang
memerintah pada masa ini ada tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir (912-961
M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan
kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nasir
mendirikan universitas Cordova
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova
menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak
sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
Kekuasaan Umayyah mulai menurun setelah al Muntashiru
wafat. Ia digantikan oleh putera mahkota Hisyam II yang beru berusia 10 tahun.
Hisyam II dinobatkan menjadi khalifah dengan gelar al Mu’ayyad. Muhammad
ibn Abi Abi Amir al Qahthani yang merupakan hakim Agung pada masa al Muntashir
berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan dan menempatkan khalifah dibawah
pengaruhnya. ia memaklumkan dirinya sebagai al Malik al Manshur Billah
(366-393/976-1003) dan ia terkenal dalam sejarah dengan sebutan Hajib al
Manshur.
Kekuasaan Hakim Agung al Manshur diteruskan oleh Abd
al Malik ibn Muhammad yang bergelar al Malik al Mudhaffar (393-399/1003-1009).
Pada masa selanjutnya al Mudhaffar digantikan oleh Abd al rahman ibn Muhammad
yang bergelar al Malik al Nashir li Dinillah (399/1009) dan sejak saat itu
kestabilan politik Umayyah mulai merosot dengan terjadinya berbegai kemelut di
dalam negeri yang akhirnya meruntuhkan dinasti Umayyah.
Keruntuhan Bani Umyyah diawali dengan pemecatan al
Mu’ayyad sebagai khalifah oleh sejumlah pemuka-pemuka Bani Umayyah. Kemudia
para pemuka tersebut bersedia mengangkat al Nashir sebagai khalifah. Akan
tetapi pada kenyataanya dengan turunnya al Mu’ayyad perebutan kursi khilafah
menjadi tidak bias dihindari. Dalam tempo 22 tahun terjadi 14 kali pergantian
khalifah, yang umumnya melalui kudeta, dan lima orang khalifah diantaranya naik
tahta dua kali. Daulah Umawiyah akhirnya runtuh ketika Khalifah Hisyam III ibn
Muhammad III yang bergelar al Mu’tadhi (418-422/1027-1031) disingkirkan oleh
sekelompok angkatan bersenajata.
F. Eksisitensi Bani Umayyah spanyol
Kemajuan Peradaban Dinasti Umayyah II
Dalam masa lebih
dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai
kejayaannya di sana. Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya
membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Diantara
kemajuan tersebut diantaranya:
1.
Kemajuan
Intelektual
Masyarakat Spanyol Islam merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan
Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat
Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara
Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada
penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang
berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua
komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap
terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah,
sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol. Perkembangan tersebut meliputi:
A. Filsafat.
Islam di Spanyol telah mencatat satu
lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan
sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke
Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai
dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang
ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Tokoh utama pertama dalam sejarah
filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal
dengan Ibn Bajjah. Tokoh utama yang kedua adalah Abu Bakr ibn Thufail, penduduk
asli Wadi Asa, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia
lanjut tahun 1185 M.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova. la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova. la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku
Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13
diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari
Al-Qanun. Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme
ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia
menyerang filsafat Al-Ghazali.
B. Sains.
Abbas ibn Farnas termasyhur dalam
ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca
dari batu. Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la dapat
menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. la
juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata
surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang
obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz
adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dan Fisika. Kitab
Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada
tahun 1121, adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad
Pertengahan, mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai
teori dan kenyataan yang berhubungan dengan fisika.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam
bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia
(1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan
Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn
Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dart Tum
adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di
Spanyol yang kemudian pindah ke Afrika.
C. Fiqih.
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal
sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah
Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya
yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya
yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang
terkenal.
D. Musik dan
Kesenian.
Seni musik Andalusia berkembang
dengan datangnya Hasan ibn Nafi’ yang lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Ia
adalah seorang maula dari Irak, murid Ishaq al Maushuli seorang musisi dan
biduan kenamaan di istana Harun al Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun
pertama pemerintahan Abd al Rahman II al Autsath. Keahliannya dalam seni musik
dan tarik suara berpengaruh hingga masa sekarang. Hasan ibn Nafi’ dianggap
sebagai peketak pertama dasar dari musik Spanyol modern. Ialah yang
memperkenalkan notasi do-re-mi-fa-so-la-si. Notasi tersebut berasal dari huruf
Arab. Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus
al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin
sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat
setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda,
dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari
tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah
De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
E. Bahasa dan
Sastra.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa
administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh
orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan
bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab,
baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn
Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali
Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Gharnathi.
Pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menjadi
bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla
menerjemahkan Taurat kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat
dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Hal
seperti itu terjadi pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba’i pada saat itu
tidak jarang dari penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih
berbahasa Arab daripada (sebagian) bangsa Arab sendiri
Kemajuan-Kemajuan yang
Dicapai :
- Bani Umayyah berhasil memperluas daerah
kekuasaan Islam ke berbagai penjuru dunia, seperti Spanyol, Afrika Utara,
Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian kecil Asia, Persia,
Afghanistan, Pakistan, Rukhmenia, Uzbekistan dan Kirgis.
- Islam memberikan pengaruh bagi
kehidupan masyarakat luas. Sikap fanatik Arab sangat efektif dalam
membangun bangsa Arab yang besar sekaligus menjadi kaum muslimin atau bangsa
Islam. Pada saat itu bangsa Arab merupakan prototipikal dari bangsa Islam
sendiri.
- Telah berkembang ilmu pengetahuan
secara tersendiri dengan masing- masing tokoh spesialisnya. Antara lain,
dalam Ilmu Qiro’at (7 qiro’at) yang terkenal yaitu Ibnu Katsir (120H),
Ashim (127H), dan Ibnu Amr (118H).5 Ilmu Tafsir tokohnya ialah Ibnu Abbas
(68H) dan muridnya Mujahid, Ilmu Hadits oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri,
tokohnya ialah Hasan Al-Basri (110H), Sa’id bin Musayyad, Rabi’ah Ar-Ra’iy
guru dari Imam Malik, Ibnu Abi Malikah, Sya’bi Abu Amir bin Syurahbil.
Kemudian Ilmu Kimia dan Kedokteran, Ilmu Sejarah, Ilmu Nahwu, dan
sebagainya.
- Perkembangan dalam hal administrasi
ketatanegaraan, seperti adanya Lembaga Peradilan (Qadha), Kitabat, Hajib,
Barid dan sebagainya.
KESIMPULAN
Secara umum, Dinasti
Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar biasa. Era Dinasti
Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil membuktikanan kepada
dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan bersaing dengan dua
kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas
politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami kebobrokan
moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah
Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak
kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
0 komentar: